Kenapa Tuhan menciptakan
kebencian?” Brigitta, gadis yang baru saja melemparkan
pertanyaan tadi menatapku lamat lamat. Sorot matanya yang kosong menelanjangiku yang tiba tiba membatu. Aku tak tahu jawabannya, sama sekali tak mengerti. Aku bukan guru Agama, atau orang yang sehari harinya bergulat dengan misteri Ilahi, apalagi orang yang mengamati pola kejahatan yang manusia lakukan lalu menganalisisnya dari berbagai perspektif sebelum menarik beberapa kesimpulan untuk memudahkan manusia memahami esensi dari kejahatan. Kenapa Tuhan menciptakan kebencian? Sudah tidak terhitung lagi berapa kali gadis tersebut menanyakan hal itu kepadaku. Sejak pertama kali kami bertemu dia tak pernah menanyakan hal lain. Pertanyaan yang lebih manusiawi dan memungkinkan untuk dijawab olehku. Hanya pertanyaan itulah yang pernah kudengar keluar dari mulutnya. Menyadari aku lagi lagi tak bisa menjawab pertanyaannya wajah gadis tersebut berubah kecewa. Kecewa kepadaku, kepada manusia, mungkin juga kepada Tuhan. Ia lalu bangun dari tempat duduknya dan berjalan keluar ruangan. Sebelum benar benar berlalu, gadis itu berhenti di depan pintu. Dia lalu kembali menatap mataku. Pandangan matanya kali ini mengintimidasiku, seolah bermakna ‘aku hanya ingin tahu hal itu sekarang. Aku hanya ingin tahu jawabnya. Hanya itu.’
pertanyaan tadi menatapku lamat lamat. Sorot matanya yang kosong menelanjangiku yang tiba tiba membatu. Aku tak tahu jawabannya, sama sekali tak mengerti. Aku bukan guru Agama, atau orang yang sehari harinya bergulat dengan misteri Ilahi, apalagi orang yang mengamati pola kejahatan yang manusia lakukan lalu menganalisisnya dari berbagai perspektif sebelum menarik beberapa kesimpulan untuk memudahkan manusia memahami esensi dari kejahatan. Kenapa Tuhan menciptakan kebencian? Sudah tidak terhitung lagi berapa kali gadis tersebut menanyakan hal itu kepadaku. Sejak pertama kali kami bertemu dia tak pernah menanyakan hal lain. Pertanyaan yang lebih manusiawi dan memungkinkan untuk dijawab olehku. Hanya pertanyaan itulah yang pernah kudengar keluar dari mulutnya. Menyadari aku lagi lagi tak bisa menjawab pertanyaannya wajah gadis tersebut berubah kecewa. Kecewa kepadaku, kepada manusia, mungkin juga kepada Tuhan. Ia lalu bangun dari tempat duduknya dan berjalan keluar ruangan. Sebelum benar benar berlalu, gadis itu berhenti di depan pintu. Dia lalu kembali menatap mataku. Pandangan matanya kali ini mengintimidasiku, seolah bermakna ‘aku hanya ingin tahu hal itu sekarang. Aku hanya ingin tahu jawabnya. Hanya itu.’
Aku pulang dengan sebuah perasaan yang mengganjal. Saat pertama
kali Brigitta bertanya kepadaku aku hanya memakluminya sebagai bentuk kesedihan
seorang anak manusia yang dihancurkan dunia dengan berjuta kejahatan
disekelilingnya. Namun pertanyaannya menggangguku kali ini. Bahkan pertanyaan
itu masih menghantuiku sampai di tempat tinggalku. Aku membersihkan diri
secepat mungkin lalu membanting diriku di tempat tidur. Sebenarnya aku ingin
segera dibuai mimpi sehingga bisa lepas dari perasaan itu, namun aku malah
merasa gelisah hingga tak bisa tidur. Istriku yang menyadari sikap anehku mulai
bertanya
“Kamu
kenapa?”
Aku tak
dapat menyembunyikannya dari istriku. Dia bisa tahu semuanya tentangku, apapun
itu, termasuk jika aku berbohong.
“Begini sayang. Minggu lalu
seorang gadis kecil diantar ke panti asuhan. Orang tuanya meninggal karena
dibunuh sekelompok perampok yang membobol rumahnya. Setelah itu Pamannya
meninggalkannya di panti asuhan karena ingin menguasai rumah gadis itu. Miris
sekali bukan?”
“Lalu apa yang mengganggumu?
Bukankah semua anak yang kamu ajar di sana mengalami hal serupa? Bahkan mungkin
ada yang lebih tragis?”
“Bukan. bukan itu yang
menggangguku, tapi sikap anak itu. Dia jarang sekali bicara.
Dan pertanyaannya, setiap kali aku mengajar, dia selalu menanyakan pertanyaan
yang sama berulang kali. ‘Kenapa Tuhan menciptakan kejahatan?’ Bisakah kau
pikirkan jawabannya?”
Istriku
Shasa hanya tersenyum sejenak sebelum akhirnya kembali melanjutkan
pembicaraannya
“Itu
pertanyaan untukmu. Dia hanya kamu yang menjawabnya. Karena itulah gadis itu menanyakannya
kepadamu, berulang kali, hanya kepadamu.”
Setelah
jawaban itu, Istriku segera membungkus tubuh kami dengan selimut kemudian
mengajakku tidur. Nasihat dan ajakannya rupanya ampuh karena aku akhirnya bisa
tertidur.
* * *
Namaku Ronald, seorang Dosen Matematika. Selain menjadi
Dosen, aku mengabdikan diri pada sebuah Panti Asuhan dekat rumahku menjadi
seorang pengajar sukarela. Karena kekurangan tenaga pengajar, aku tidak hanya
mengajar matematika di sana, tetapi juga beberapa bidang lainnya. Zaman
sekarang memang tak banyak orang yang mau mengeluarkan keringat tanpa dibayar.
Tujuh bulan yang lalu aku mempersunting Sasha menjadi Istriku. Dia seorang
karyawan di sebuah Bank. Tak ada pernikahan mewah, apalagi bulan madu yang
romantis. Semuanya serba sederhana namun kami bahagia dan sangat menikmatinya.
Hari ini adalah monthversary kami yang ke-7, usia yang cukup
pantas jika dirayakan. Kami memutuskan untuk merayakannya dengan anak anak
Panti dan beberapa rekan kerja, di Panti Asuha tentu saja. Di resepsi yang sederhana
tersebutlah aku memperkenalkan Shasa ke semua anak Panti. Anak anak Panti telah
lama membujukku untuk membawa Shasa ke Panti, namun baru kali ini aku bisa
memenuhi permintaan mereka.
“Kamu
pasti Brigitta”, kata Shasa ketika bersitatap dengan Briggitta. Gadis itu acuh,
hanya menganggukan kepalanya tanpa sedikitpun menyunggingkan senyuman.
Shasa tetap
tersenyum bahkan setelah diperlakukan seperti itu. Aku salut dengan
ketabahannya. Justru aku yang sedikit tak terima dengan perlakuannya.
Setelah acara tersebut selesai aku menemui Brigitta. Bukan
untuk menegurnya, aku hanyan ingin menjawab pertanyaannya. Dengan mantap, aku
membeberkan kepadanya satu per satu tentang baik dan jahat. Aku yakin sekali
ketika menjelaskan muasal kebencian. Aku menjawabnya dengan segala cerita,
teori dan mitologi yang aku cari dan baca tempo hari. Tentang Yin-Yang yang
gamblang mendeskripsikan dua sisi kehidupan yang saling bertentangan dalam
tradisi Tionghoa. Tentang Ormuzd-Ahmiran yang merupakan sisi jahat dan baik
dalam tradisi Persia. Tentang peperangan Ahura dan Ahmuran dalam kepercayaaan Zoroastrianisme.
Tentang ular yang menghasut Adam dan Hawa untuk memakan buah pengetahuan.
Kemudian aku sesederhana mungkin memberi alasan yang mungkin saja
menjadi alasan Tuhan menciptakan kebencian, menciptakan kejahatan. Semoga dia
mengerti kalau kejahatan diciptakan untuk mendukung kebaikan. Meski saling
bertentangan mereka sepertinya saling membutuhkan. Aku pikir dunia tidak akan
terbentuk seperti sekarang jika kejahatan dan kebaikan tidak tumbuh
berbarengan.
“Tentu saja tidak”, dia malah
membantah.
“Hidup akan menjadi sangat
indah jika tidak ada kebencian. Bukankah kebaikan tidak membutuhkan kejahatan.
Bukankah manusia hanya membutuhkan kebaikan untuk hidup bahagia. Tak ada
pembunuhan, tak ada yang terlantar karena orang yang dipercayai lebih memilih saling
berebut harta, dan tidak ada orang yang setiap hari berkoar koar tentang cara
menghitung, cara membaca, cara menulis, atau apapun itu, tanpa dia tahu setiap
hari aka nada hati yang terluka karena kejahatan yang Tuhan buat, tanpa dia
tahu betapa tersiksanya menjadi orang yang terluka.”
Aku benar benar naik pitam dengan perkataannya
barusan. Wajahku
memerah dan ingin meledak saja rasanya. Aku tak tahan lagi berpelaku baik
terhadap orang yang bahkan tak tahu caranya berperilaku baik. Aku lepas
kendali. Kukatakan semuanya tentang apapun yang bisa membuatku puas
memarahinya. Bagaimana aku beberapa hari ini susah payah mencari jawaban atas
pertanyaan tidak masuk akalnya, bagaimana aku kesana kemari mencari buku buku
ketuhanan yang susah sekali dimengerti dan tidak tidur demi membaca semuanya.
Kuberitahukan kepada betapa aku ingin melihatnya tersenyum, walau hanya sekali,
melihat dia merasakan hidup yang beruntung masih diperuntukkan kepadanya, dan
betapa aku ingin dia tahu bahwa sebanyak apapun kejahatan meremukan hatinya
akan ada lebih banyak kebaikan disekitarnya yang siap menyembuhkan segala
lukanya dan meredam segala sakitnya. Dengan kecewa aku meninggalkan tempat itu
tanpa aku sadari ada yang telah berubah. Sorot matanya yang biasanya kosong seperti
kembali bernyawa. Dia sadar telah mengecewakan aku. Mungkin
karena terlalu sering dikecewakan, dia tahu betul betapa menyiksanya perasaan
itu. Aku tak bisa menyalahkan mulutnya yang keluh untuk memanggilku, yang ingin
sekali mengungkapkan sesuatu namun tak bisa berkata apa apa. Aku telah
meninggalkan Panti itu tanpa aku sadari kalau dia hanya bisa meneteskan air
matanya, kecewa kepada dirinya sendiri karena telah mengecewakan aku. Air mata
memanglah cara mata untuk berbicara, ketika segala perkataan tak bisa
diselesaikan oleh mulut.
* * *
Aku dan Shasa telah mengkarduskan semua barang kami.
Sebentar lagi kami akan meninggalkan rumah kontrakan lama kami dan tinggal di
rumah baru kami. Ini sudah lewat beberapa hari setelah perayaan ulang tahun
pernikahan yang kami adakan bersama anak anak Panti. Dengan alasan sibuk
mengajar di Kampus aku beralasan tidak bisa datang dan mengajar anak anak
Panti. Aku masih tak ingin menemui Brigitta. Secuil perasaan kesal memang masih
mengganjal, namun sebenarnya hatiku lebih banyak dipenuhi perasaan bersalah dan
malu. Aku telah gelap mata hingga lupa bahwa Gadis yang aku marahi habis
habisan itu hanyalah seorang anak kecil berumur 10 tahun. Gadis itu telah
menyaksikan begitu banyak kejahatan diumurnya yang masih sangat belia. Anak
yang mungkin sudah mati perasaannya, terkubur bersama jasad kedua orang tuanya
atau jatuh di jalan ketika pamannya mengantarkannya ke Panti Asuhan hanya
karena ingin menguasai rumahnya. Memang tak seharusnya aku bereaksi terlampau
kasar kepadanya kemarin. Alih alih meminta maaf, perasaan enggan justru
memaksaku meninggalkan Panti itu selamanya. ‘Kau tak perlu lagi mengajar di
sana maka kau tak akan bertemu lagi dengan Gadis itu. Jangan buang harga dirimu
hanya untuk meminta maaf kepada seorang murid,’ kira kira seperti inilah
bisikan yang bergaung di telinga kiriku.
Namun
Sasha tetaplah Sasha, selalu tahu masalah yang aku miliki, selalu merasakan
tingkah aneh yang terjadi padaku. Aku beruntung karena menikahi malaikat
sepertinya. Dengan lembut dia berkata “Aku
percaya kamu bisa mengatasinya sendiri. Kau tahu hidup ini pilihan. Bahkan
ketika kau tidak memilih satupun dari pilihan yang ada, kamu telah memilih.
Kamu memilih untuk tidak memilih. Dan tak ada seorangpun yang berhak memilihkan
untukmu, sekalipun aku Istrimu. Pergi ke Panti menemui murid muridmu, atau
untuk meminta maaf kepada Gadis itu, atau tidak melakukan keduanya, tak ada
yang bakal menghalangimu. Apapun pilihanmu aku tetap mendukungmu.”
Karena
nasihatnya itulah aku kini melangkahkan kakiku, pelan namun pasti menuju ke
Panti Asuhan tersebut. Letaknya memang tak jauh dari kontrakanku. “Panti
Asuhan Sinar Harapan”. Aku berdiri memandang papan yang berdiri sebagai
identitas Panti tersebut, sebelum masuk ke dalamnya dan menemui anak anak
Panti.
Suasana
di dalam ruangan tempat aku biasa mengajar begitu gaduh. Tak tahu pasti apa
yang menyebabkan kegaduhan tersebut. Aku memasuki ruangan itu, mendekati murid
muridku dan sembari meminta mereka untuk tenang aku menanyakan apakah gerangan
yang terjadi.
‘Brigitta’,
seorang anak menyebut nama gadis tersebut. Apa yang terjadi dengan dia?
Pertanyaan tersebut mengalir cepat keluar dari mulutku. Sepertinya telah
terjadi sesuatu dengannya. Seorang anak akhirnya menjelaskan apa yang tadi
dilihatnya. Tentang Brigitta yang mengambil pisau dari Dapur lalu berlari ke
belakang Panti. Brigitta yang tahu dan mau memotong urat nadinya. Gadis yang
berusaha tidak menjerit ketika pisau itu memangsa pergelangan tangan. Gadis 10
tahun yang lalu jatuh telentang, kalah pada keadaan. Dia mungkin kecewa kepada
dirinya, kecewa kepada Dunia, kepadaku, mungkin juga kepada Tuhan. Lalu anak
yang lain lagi menjelaskan dengan terbata bata ketika tubuh gadis itu dibawa ke
rumah sakit. Tanpa banyak bicara aku berlari keluar ruangan itu. Aku tahu Rumah
Sakit terdekat dan sangat mungkin menurutku jika para pengurus Panti membawanya
ke Rumah Sakit tersebut.
Aku duduk
di depan ruangan tempat dia dirawat. Aku meminta para pengurus Panti untuk
pulang sedang aku yang menggantikan mereka. Beberapa saat setelah Dokter dan
beberapa Perawat berjuang melakukan tindakan kuratif, menghentikan
pendarahannya, dan membersihkan lukanya, dia dinyatakan kritis. Satu hal yang
aku ingat dari begitu banyaknya penjelasan yang Dokter tersebut jabarkan adalah
Brigitta butuh donor darah. Aku tak lagi berpikir ketika aku menawarkan diri
menjadi pendonor. Aku bahkan tak ingat bagaimana Perawat memeriksa seberapa
pantas darahku untuk didonorkan dan bagaimana dia menyedot berkantong kantong
darah dari dalam tubuhku. Sepertinya aku pingsan. Namun aku bahagia karena ketika
aku sadar, istriku tersenyum di sampingku sambil berucap ‘Brigitta melewati
masa kritisnya.’ Istriku memeluk aku dengan haru, mendaratkan jutaan ciuman di
wajahku tanpa sedikitpun berujar. Untuk apa, aku tak tahu, dan tak ingin tahu. Tindakan
memang lebih bernilai diatas segalanya. Ketika seseorang telah menunjukan
sesuatu dengan tindakan, dia tak butuh lagi kata untuk menjelaskan.
Beberapa hari kemudian Brigitta juga terbangun dari tidurnya.
Aku ada di sana ketika dia membuka matanya dan menatap kaget ke arahku. Aku
tersenyum menyapanya seolah tak ada sesuatupun yang telah terjadi. Aku menawarkan
makanan untuknya dan menemaninya sepanjang hari. Tak kuceritakan sedikitpun
tentang kejadian yang telah terjadi, begitu juga dia tak sedikitpun bertanya
apa yang telah terjadi. Dia masih bisu seperti biasa walau sorotnya telah
berubah. Aku menyesal sama sekali tidak menyadari hal itu. Sampai akhirnya,
dengan malu dia berkata ‘Aku minta maaf’. Aku tersenyum, sangat bahagia karena banyak
hal berubah. Semuanya tak lagi sama. Aku merangkulnya dan dia lalu menangis
sejadi jadinya dipundakku. Suasana yang menentramkan larut bersama air mata
yang tumpah dari kedua sudut matanya. Aku yakin sekali itu air mata
kebahagiaan.
Brigitta. Sorot matanya redup ketika aku berpamitan
hendak meninggalkannya. Aku hampir saja meninggalkan ruangan itu kalau saja dia
tidak menahanku. ‘Jangan tinggalakan aku. Aku tak ingin sendiri.’ Dia meminta
tidak pergi. Tapi aku benar benar harus pergi, ada urusan yang tak bisa aku
tinggalkan. Itulah yang membuatku dilema. Saat itulah tiba tiba pintu ruangan
tempat Brigitta dirawat terbuka dan anak anak Panti masuk memenuhi ruangan
tersebut. Mereka yang polos menanyakan keadaan Brigitta, beberapa anak bertanya
kenapa Brigitta tidak pulang ke Panti, lebih banyak lagi menginginkan dia
segera pulang. Aku langsung tahu siapa yang mendalangi ini semua. Aku keluar
mendapati Shasa yang sedang tersenyum diluar pintu.
“Pergilah,
aku yang akan menjaga mereka”. Aku tersenyum haru. Dia selalu bisa diandalkan
dalam keadaan apapun. Aku semakin yakin telah menikahi seorang malaikat. Ketika
akan pergi aku mengingat sesuatu. Aku lalu membuka pintu ruangan itu dan
berbicara dari depan pintu.
“Brigitta.
Tentang pertanyaanmu, kejahatan itu tidak pernah ada. Itu yang harus kamu tahu.
Tuhan tidak pernah menciptakan kebencian. Hanya ada satu perasaan yang Tuhan
titipkan di hati setiap manusia yaitu Cinta. Selain itu semuanya hanyalah
ilusi, defenisi yang manusia ciptakan sendiri. Tuhan memberi kita kebebasan
untuk menguasai Cinta yang kita miliki. Disinilah kita lalai. Ketika kita
terlalu mencintai diri kita sendiri, tak akan ada cukup cinta untuk orang lain,
demikian sebaliknya. Jadi tak ada yang namanya kejahatan, yang ada hanyalah
kekurangan cinta kepada sesama. Tak ada yang namanya kebencian, yang ada
hanyalah kita terlalu mencintai diri sendiri.”
Dia tersenyum mendengar jawabanku. Aku lalu kembali
menutup pintu itu mencium istriku dan melenggang keluar dari Rumah Sakit itu.
Sekali lagi hidup itu sebuah pilihan. Bahkan ketika kita tidak memilih satupun
dari pilihan yang ada, kita telah memilih. Kita memilih untuk tidak memilih. Kita juga
mempunyai pilihan atas nama cinta. Memberi cinta lebih banyak untuk diri kita
dibanding untuk orang lain, atau memberi cinta lebih banyak untuk orang lain
dibanding untuk diri kita sendiri, atau mungkin membagikannya sama rata,
pilihan berada ditangan kita masing masing. Yang pasti Tuhan tidak pernah
menciptakan Kebencian.
“Untuk Semua Yang Sedang Terluka”
14, Januari 2018
Dirren_Ronaldo
EmoticonEmoticon