Friday, July 27, 2018

"CERPEN : BRIGITTA"


Kenapa Tuhan menciptakan kebencian?” Brigitta, gadis yang baru saja melemparkan
pertanyaan tadi menatapku lamat lamat. Sorot matanya yang kosong menelanjangiku yang tiba tiba membatu. Aku tak tahu jawabannya, sama sekali tak mengerti. Aku bukan guru Agama, atau orang yang sehari harinya bergulat dengan misteri Ilahi, apalagi orang yang mengamati pola kejahatan yang manusia lakukan lalu menganalisisnya dari berbagai perspektif sebelum menarik beberapa kesimpulan untuk memudahkan manusia memahami esensi dari kejahatan. Kenapa Tuhan menciptakan kebencian? Sudah tidak terhitung lagi berapa kali gadis tersebut menanyakan hal itu kepadaku. Sejak pertama kali kami bertemu dia tak pernah menanyakan hal lain. Pertanyaan yang lebih manusiawi dan memungkinkan untuk dijawab olehku. Hanya pertanyaan itulah yang pernah kudengar keluar dari mulutnya. Menyadari aku lagi lagi tak bisa menjawab pertanyaannya wajah gadis tersebut berubah kecewa. Kecewa kepadaku, kepada manusia, mungkin juga kepada Tuhan. Ia lalu bangun dari tempat duduknya dan berjalan keluar ruangan. Sebelum benar benar berlalu, gadis itu berhenti di depan pintu. Dia lalu kembali menatap mataku. Pandangan matanya kali ini mengintimidasiku, seolah bermakna ‘aku hanya ingin tahu hal itu sekarang. Aku hanya ingin tahu jawabnya. Hanya itu.’


Aku pulang dengan sebuah perasaan yang mengganjal. Saat pertama kali Brigitta bertanya kepadaku aku hanya memakluminya sebagai bentuk kesedihan seorang anak manusia yang dihancurkan dunia dengan berjuta kejahatan disekelilingnya. Namun pertanyaannya menggangguku kali ini. Bahkan pertanyaan itu masih menghantuiku sampai di tempat tinggalku. Aku membersihkan diri secepat mungkin lalu membanting diriku di tempat tidur. Sebenarnya aku ingin segera dibuai mimpi sehingga bisa lepas dari perasaan itu, namun aku malah merasa gelisah hingga tak bisa tidur. Istriku yang menyadari sikap anehku mulai bertanya

“Kamu kenapa?”

Aku tak dapat menyembunyikannya dari istriku. Dia bisa tahu semuanya tentangku, apapun itu, termasuk jika aku berbohong.

“Begini sayang. Minggu lalu seorang gadis kecil diantar ke panti asuhan. Orang tuanya meninggal karena dibunuh sekelompok perampok yang membobol rumahnya. Setelah itu Pamannya meninggalkannya di panti asuhan karena ingin menguasai rumah gadis itu. Miris sekali bukan?”

“Lalu apa yang mengganggumu? Bukankah semua anak yang kamu ajar di sana mengalami hal serupa? Bahkan mungkin ada yang lebih tragis?”

“Bukan. bukan itu yang menggangguku, tapi sikap anak itu. Dia jarang sekali bicara. Dan pertanyaannya, setiap kali aku mengajar, dia selalu menanyakan pertanyaan yang sama berulang kali. ‘Kenapa Tuhan menciptakan kejahatan?’ Bisakah kau pikirkan jawabannya?”

Istriku Shasa hanya tersenyum sejenak sebelum akhirnya kembali melanjutkan pembicaraannya

“Itu pertanyaan untukmu. Dia hanya kamu yang menjawabnya. Karena itulah gadis itu menanyakannya kepadamu, berulang kali, hanya kepadamu.”

Setelah jawaban itu, Istriku segera membungkus tubuh kami dengan selimut kemudian mengajakku tidur. Nasihat dan ajakannya rupanya ampuh karena aku akhirnya bisa tertidur.


* * *


Namaku Ronald, seorang Dosen Matematika. Selain menjadi Dosen, aku mengabdikan diri pada sebuah Panti Asuhan dekat rumahku menjadi seorang pengajar sukarela. Karena kekurangan tenaga pengajar, aku tidak hanya mengajar matematika di sana, tetapi juga beberapa bidang lainnya. Zaman sekarang memang tak banyak orang yang mau mengeluarkan keringat tanpa dibayar. Tujuh bulan yang lalu aku mempersunting Sasha menjadi Istriku. Dia seorang karyawan di sebuah Bank. Tak ada pernikahan mewah, apalagi bulan madu yang romantis. Semuanya serba sederhana namun kami bahagia dan sangat menikmatinya. Hari ini adalah monthversary kami yang ke-7, usia yang cukup pantas jika dirayakan. Kami memutuskan untuk merayakannya dengan anak anak Panti dan beberapa rekan kerja, di Panti Asuha tentu saja. Di resepsi yang sederhana tersebutlah aku memperkenalkan Shasa ke semua anak Panti. Anak anak Panti telah lama membujukku untuk membawa Shasa ke Panti, namun baru kali ini aku bisa memenuhi permintaan mereka.

“Kamu pasti Brigitta”, kata Shasa ketika bersitatap dengan Briggitta. Gadis itu acuh, hanya menganggukan kepalanya tanpa sedikitpun menyunggingkan senyuman.

Shasa tetap tersenyum bahkan setelah diperlakukan seperti itu. Aku salut dengan ketabahannya. Justru aku yang sedikit tak terima dengan perlakuannya.



Setelah acara tersebut selesai aku menemui Brigitta. Bukan untuk menegurnya, aku hanyan ingin menjawab pertanyaannya. Dengan mantap, aku membeberkan kepadanya satu per satu tentang baik dan jahat. Aku yakin sekali ketika menjelaskan muasal kebencian. Aku menjawabnya dengan segala cerita, teori dan mitologi yang aku cari dan baca tempo hari. Tentang Yin-Yang yang gamblang mendeskripsikan dua sisi kehidupan yang saling bertentangan dalam tradisi Tionghoa. Tentang Ormuzd-Ahmiran yang merupakan sisi jahat dan baik dalam tradisi Persia. Tentang peperangan Ahura dan Ahmuran dalam kepercayaaan Zoroastrianisme. Tentang ular yang menghasut Adam dan Hawa untuk memakan buah pengetahuan. Kemudian aku sesederhana mungkin memberi alasan yang mungkin saja menjadi alasan Tuhan menciptakan kebencian, menciptakan kejahatan. Semoga dia mengerti kalau kejahatan diciptakan untuk mendukung kebaikan. Meski saling bertentangan mereka sepertinya saling membutuhkan. Aku pikir dunia tidak akan terbentuk seperti sekarang jika kejahatan dan kebaikan tidak tumbuh berbarengan.

“Tentu saja tidak”, dia malah membantah.

“Hidup akan menjadi sangat indah jika tidak ada kebencian. Bukankah kebaikan tidak membutuhkan kejahatan. Bukankah manusia hanya membutuhkan kebaikan untuk hidup bahagia. Tak ada pembunuhan, tak ada yang terlantar karena orang yang dipercayai lebih memilih saling berebut harta, dan tidak ada orang yang setiap hari berkoar koar tentang cara menghitung, cara membaca, cara menulis, atau apapun itu, tanpa dia tahu setiap hari aka nada hati yang terluka karena kejahatan yang Tuhan buat, tanpa dia tahu betapa tersiksanya menjadi orang yang terluka.”



Aku benar benar naik pitam dengan perkataannya barusan. Wajahku memerah dan ingin meledak saja rasanya. Aku tak tahan lagi berpelaku baik terhadap orang yang bahkan tak tahu caranya berperilaku baik. Aku lepas kendali. Kukatakan semuanya tentang apapun yang bisa membuatku puas memarahinya. Bagaimana aku beberapa hari ini susah payah mencari jawaban atas pertanyaan tidak masuk akalnya, bagaimana aku kesana kemari mencari buku buku ketuhanan yang susah sekali dimengerti dan tidak tidur demi membaca semuanya. Kuberitahukan kepada betapa aku ingin melihatnya tersenyum, walau hanya sekali, melihat dia merasakan hidup yang beruntung masih diperuntukkan kepadanya, dan betapa aku ingin dia tahu bahwa sebanyak apapun kejahatan meremukan hatinya akan ada lebih banyak kebaikan disekitarnya yang siap menyembuhkan segala lukanya dan meredam segala sakitnya. Dengan kecewa aku meninggalkan tempat itu tanpa aku sadari ada yang telah berubah. Sorot matanya yang biasanya kosong seperti kembali bernyawa. Dia sadar telah mengecewakan aku. Mungkin karena terlalu sering dikecewakan, dia tahu betul betapa menyiksanya perasaan itu. Aku tak bisa menyalahkan mulutnya yang keluh untuk memanggilku, yang ingin sekali mengungkapkan sesuatu namun tak bisa berkata apa apa. Aku telah meninggalkan Panti itu tanpa aku sadari kalau dia hanya bisa meneteskan air matanya, kecewa kepada dirinya sendiri karena telah mengecewakan aku. Air mata memanglah cara mata untuk berbicara, ketika segala perkataan tak bisa diselesaikan oleh mulut.


* * *


Aku dan Shasa telah mengkarduskan semua barang kami. Sebentar lagi kami akan meninggalkan rumah kontrakan lama kami dan tinggal di rumah baru kami. Ini sudah lewat beberapa hari setelah perayaan ulang tahun pernikahan yang kami adakan bersama anak anak Panti. Dengan alasan sibuk mengajar di Kampus aku beralasan tidak bisa datang dan mengajar anak anak Panti. Aku masih tak ingin menemui Brigitta. Secuil perasaan kesal memang masih mengganjal, namun sebenarnya hatiku lebih banyak dipenuhi perasaan bersalah dan malu. Aku telah gelap mata hingga lupa bahwa Gadis yang aku marahi habis habisan itu hanyalah seorang anak kecil berumur 10 tahun. Gadis itu telah menyaksikan begitu banyak kejahatan diumurnya yang masih sangat belia. Anak yang mungkin sudah mati perasaannya, terkubur bersama jasad kedua orang tuanya atau jatuh di jalan ketika pamannya mengantarkannya ke Panti Asuhan hanya karena ingin menguasai rumahnya. Memang tak seharusnya aku bereaksi terlampau kasar kepadanya kemarin. Alih alih meminta maaf, perasaan enggan justru memaksaku meninggalkan Panti itu selamanya. ‘Kau tak perlu lagi mengajar di sana maka kau tak akan bertemu lagi dengan Gadis itu. Jangan buang harga dirimu hanya untuk meminta maaf kepada seorang murid,’ kira kira seperti inilah bisikan yang bergaung di telinga kiriku.

Namun Sasha tetaplah Sasha, selalu tahu masalah yang aku miliki, selalu merasakan tingkah aneh yang terjadi padaku. Aku beruntung karena menikahi malaikat sepertinya. Dengan lembut dia berkata “Aku percaya kamu bisa mengatasinya sendiri. Kau tahu hidup ini pilihan. Bahkan ketika kau tidak memilih satupun dari pilihan yang ada, kamu telah memilih. Kamu memilih untuk tidak memilih. Dan tak ada seorangpun yang berhak memilihkan untukmu, sekalipun aku Istrimu. Pergi ke Panti menemui murid muridmu, atau untuk meminta maaf kepada Gadis itu, atau tidak melakukan keduanya, tak ada yang bakal menghalangimu. Apapun pilihanmu aku tetap mendukungmu.”    

Karena nasihatnya itulah aku kini melangkahkan kakiku, pelan namun pasti menuju ke Panti Asuhan tersebut. Letaknya memang tak jauh dari kontrakanku. “Panti Asuhan Sinar Harapan”. Aku berdiri memandang papan yang berdiri sebagai identitas Panti tersebut, sebelum masuk ke dalamnya dan menemui anak anak Panti.

        

    Suasana di dalam ruangan tempat aku biasa mengajar begitu gaduh. Tak tahu pasti apa yang menyebabkan kegaduhan tersebut. Aku memasuki ruangan itu, mendekati murid muridku dan sembari meminta mereka untuk tenang aku menanyakan apakah gerangan yang terjadi.

‘Brigitta’, seorang anak menyebut nama gadis tersebut. Apa yang terjadi dengan dia? Pertanyaan tersebut mengalir cepat keluar dari mulutku. Sepertinya telah terjadi sesuatu dengannya. Seorang anak akhirnya menjelaskan apa yang tadi dilihatnya. Tentang Brigitta yang mengambil pisau dari Dapur lalu berlari ke belakang Panti. Brigitta yang tahu dan mau memotong urat nadinya. Gadis yang berusaha tidak menjerit ketika pisau itu memangsa pergelangan tangan. Gadis 10 tahun yang lalu jatuh telentang, kalah pada keadaan. Dia mungkin kecewa kepada dirinya, kecewa kepada Dunia, kepadaku, mungkin juga kepada Tuhan. Lalu anak yang lain lagi menjelaskan dengan terbata bata ketika tubuh gadis itu dibawa ke rumah sakit. Tanpa banyak bicara aku berlari keluar ruangan itu. Aku tahu Rumah Sakit terdekat dan sangat mungkin menurutku jika para pengurus Panti membawanya ke Rumah Sakit tersebut.

Aku duduk di depan ruangan tempat dia dirawat. Aku meminta para pengurus Panti untuk pulang sedang aku yang menggantikan mereka. Beberapa saat setelah Dokter dan beberapa Perawat berjuang melakukan tindakan kuratif, menghentikan pendarahannya, dan membersihkan lukanya, dia dinyatakan kritis. Satu hal yang aku ingat dari begitu banyaknya penjelasan yang Dokter tersebut jabarkan adalah Brigitta butuh donor darah. Aku tak lagi berpikir ketika aku menawarkan diri menjadi pendonor. Aku bahkan tak ingat bagaimana Perawat memeriksa seberapa pantas darahku untuk didonorkan dan bagaimana dia menyedot berkantong kantong darah dari dalam tubuhku. Sepertinya aku pingsan. Namun aku bahagia karena ketika aku sadar, istriku tersenyum di sampingku sambil berucap ‘Brigitta melewati masa kritisnya.’ Istriku memeluk aku dengan haru, mendaratkan jutaan ciuman di wajahku tanpa sedikitpun berujar. Untuk apa, aku tak tahu, dan tak ingin tahu. Tindakan memang lebih bernilai diatas segalanya. Ketika seseorang telah menunjukan sesuatu dengan tindakan, dia tak butuh lagi kata untuk menjelaskan.



Beberapa hari kemudian Brigitta juga terbangun dari tidurnya. Aku ada di sana ketika dia membuka matanya dan menatap kaget ke arahku. Aku tersenyum menyapanya seolah tak ada sesuatupun yang telah terjadi. Aku menawarkan makanan untuknya dan menemaninya sepanjang hari. Tak kuceritakan sedikitpun tentang kejadian yang telah terjadi, begitu juga dia tak sedikitpun bertanya apa yang telah terjadi. Dia masih bisu seperti biasa walau sorotnya telah berubah. Aku menyesal sama sekali tidak menyadari hal itu. Sampai akhirnya, dengan malu dia berkata ‘Aku minta maaf’. Aku tersenyum, sangat bahagia karena banyak hal berubah. Semuanya tak lagi sama. Aku merangkulnya dan dia lalu menangis sejadi jadinya dipundakku. Suasana yang menentramkan larut bersama air mata yang tumpah dari kedua sudut matanya. Aku yakin sekali itu air mata kebahagiaan.



Brigitta. Sorot matanya redup ketika aku berpamitan hendak meninggalkannya. Aku hampir saja meninggalkan ruangan itu kalau saja dia tidak menahanku. ‘Jangan tinggalakan aku. Aku tak ingin sendiri.’ Dia meminta tidak pergi. Tapi aku benar benar harus pergi, ada urusan yang tak bisa aku tinggalkan. Itulah yang membuatku dilema. Saat itulah tiba tiba pintu ruangan tempat Brigitta dirawat terbuka dan anak anak Panti masuk memenuhi ruangan tersebut. Mereka yang polos menanyakan keadaan Brigitta, beberapa anak bertanya kenapa Brigitta tidak pulang ke Panti, lebih banyak lagi menginginkan dia segera pulang. Aku langsung tahu siapa yang mendalangi ini semua. Aku keluar mendapati Shasa yang sedang tersenyum diluar pintu.

“Pergilah, aku yang akan menjaga mereka”. Aku tersenyum haru. Dia selalu bisa diandalkan dalam keadaan apapun. Aku semakin yakin telah menikahi seorang malaikat. Ketika akan pergi aku mengingat sesuatu. Aku lalu membuka pintu ruangan itu dan berbicara dari depan pintu.

“Brigitta. Tentang pertanyaanmu, kejahatan itu tidak pernah ada. Itu yang harus kamu tahu. Tuhan tidak pernah menciptakan kebencian. Hanya ada satu perasaan yang Tuhan titipkan di hati setiap manusia yaitu  Cinta. Selain itu semuanya hanyalah ilusi, defenisi yang manusia ciptakan sendiri. Tuhan memberi kita kebebasan untuk menguasai Cinta yang kita miliki. Disinilah kita lalai. Ketika kita terlalu mencintai diri kita sendiri, tak akan ada cukup cinta untuk orang lain, demikian sebaliknya. Jadi tak ada yang namanya kejahatan, yang ada hanyalah kekurangan cinta kepada sesama. Tak ada yang namanya kebencian, yang ada hanyalah kita terlalu mencintai diri sendiri.”



Dia tersenyum mendengar jawabanku. Aku lalu kembali menutup pintu itu mencium istriku dan melenggang keluar dari Rumah Sakit itu. Sekali lagi hidup itu sebuah pilihan. Bahkan ketika kita tidak memilih satupun dari pilihan yang ada, kita telah memilih. Kita memilih untuk tidak memilih. Kita juga mempunyai pilihan atas nama cinta. Memberi cinta lebih banyak untuk diri kita dibanding untuk orang lain, atau memberi cinta lebih banyak untuk orang lain dibanding untuk diri kita sendiri, atau mungkin membagikannya sama rata, pilihan berada ditangan kita masing masing. Yang pasti Tuhan tidak pernah menciptakan Kebencian.



“Untuk Semua Yang Sedang Terluka”

14, Januari 2018

   
Dirren_Ronaldo


EmoticonEmoticon

Popular all of Time